Rupiah Melemah Akibat Pengelolaan yang Keliru

26-04-2018 / KOMISI XI

 

 

Melemahnya rupiah tidak melulu faktor eksternal. Ada pengelolaan internal yang dinilai keliru, sehingga rupiah nyaris menyentuh Rp14.000 per USD Dolar. Ini juga bukan dari gejolak global yang diantaranya disebut-sebut akibat kebijakan The Fed.

 

“Ada pengelolaan yang keliru di internal, yaitu soal yang disebut-sebut oleh pakar tentang account defisit, primary balance defisit, dan service payment defisit. Hal tersebut bermula dari kesulitan pemerintah menghindari atau menekan defisit keseimbangan primer (primary balance defisit) yang berimbas kepada defisit APBN (account defisit) dan defisit pembayaran,” kata Anggota Komisi XI DPR RI Heri Gunawan melalui  sambungan telepon, Kamis (26/4/2018).

 

Utang jatuh tempo saja sekarang sekitar Rp800 triliun pada tahun ini. Dan tahun depan menjadi penyebab defisitnya keseimbangan primer. Di sisi lain, pertumbuhan realisasi penerimaan pajak dalam tiga tahun terakhir hanya empat persen, tidak sebanding dengan kenaikan kewajiban utang. Defisit keseimbangan primer sendiri disebabkan defisit anggaran yang semakin lebar. Ketika defisit anggaran melebar, artinya ada belanja yang tidak bisa ditutupi oleh pendapatan negara.

 

Defisit itulah, menurut Heri, yang ditutup oleh penambahan utang baru. Utang pemerintah setiap tahun bertambah lebih dari Rp430 triliun. “Keseimbangan primer merupakan total pendapatan negara dikurangi belanja negara di luar pembayaran bunga utang. Apabila keseimbangan primer negatif atau defisit, pemerintah harus menerbitkan utang baru untuk membayar pokok dan bunga utang lama atau gali lubang tutup lubang,” paparnya.

 

Utang pemerintah akhir Maret 2018 meroket jadi Rp4.136 triliun dengan tax ratio 9.9%. Itu turun setiap tahunnya. Sejak 2012 hingga 2017, keseimbangan primer terus mencatat defisit dengan nilai yang kian meningkat. Pada tahun ini, keseimbangan primer ditargetkan masih negatif atau minus Rp78,35 triliun. Ujungnya, defisit keseimbangan primer akan menguras habis cadangan devisa untuk membayar utang, sehingga berimbas pada rupiah yang makin terpuruk.

 

Pada 2011, sambung Anggota F-Gerindra ini, rasio antara pembayaran cicilan pokok plus bunga dibagi dengan penerimaan pajak masih 25,6 persen. Namun, sejak 2016 naik menjadi 31 persen. Ini artinya, penerimaan pajak untuk membayar bunga utang dan cicilan pokok sudah menguras 31 persen dari total penerimaan pajak dengan tax ratio.

 

“Kuncinya, benahi tiga ancaman defisit tersebut dan tidak melulu menggeser masalah pada faktor eksternal. Sangat disayangkan meski keuangan negara sudah bisa dikatakan lampu kuning akibat membengkaknya utang dan terjadinya bermacam defisit, seperti defisit anggaran, neraca kesimbangan primer, neraca perdagangan, dan neraca transaksi berjalan, namun pemerintah selalu mengungkapkan keuangan negara masih aman. Sekali lagi, menurut saya, harus dibenahi,” kata Heri. (mh/sc)

 

BERITA TERKAIT
Fathi Apresiasi Keberhasilan Indonesia Bergabung dalam BRICS, Sebut Langkah Strategis untuk Perekonomian Nasional
08-01-2025 / KOMISI XI
PARLEMENTARIA, Jakarta - Anggota Komisi XI DPR RI Fathi, menyampaikan apresiasi atas pengumuman resmi yang menyatakan Indonesia sebagai anggota penuh...
Perusahaan Retail Terlanjur Pungut PPN 12 Persen, Komisi XI Rencanakan Panggil Kemenkeu
05-01-2025 / KOMISI XI
PARLEMENTARIA, Jakarta – Ketua Komisi XI DPR RI Misbakhun menegaskan pihaknya dalam waktu dekat akan memanggil jajaran Kementerian Keuangan (Kemenkeu)...
Edukasi Pasar Modal Sejak Dini Dapat Meningkatkan Literasi Keuangan Generasi Muda
04-01-2025 / KOMISI XI
PARLEMENTARIA, Jakarta - Anggota Komisi XI DPR RI Fathi menyambut baik usulan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati yang menginginkan edukasi...
Anis Byarwati Apresiasi Program Quick Win Prabowo: Potensi Kebocoran Anggaran Harus Diminimalisasi
25-12-2024 / KOMISI XI
PARLEMENTARIA, Jakarta - Anggota Komisi XI DPR RI, Anis Byarwati, menyatakan apresiasi dan dukungannya terhadap komitmen Presiden Prabowo untuk menjadikan...